Pada hari Rabu, 27 Maret 2024, kami para Pengurus ORSIKA (OSIS SMK PIKA) mewakili sekolah melakukan kegiatan Bakti Sosial. Kami mengunjungi lokasi yang terdampak banjir di area Demak didampingi oleh Staff Kesiswaan yaitu Pak Divo dan Frater Septian. Lokasi yang akan kami jadikan untuk kegiatan aksi Bakti Sosial berada di Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin, Jl. KH. Noer, Loireng, Kecamatan Sayung, Demak.
Dalam kegiatan Bakti Sosial ini, kami membawa beras, gula pasir, indomie, dan sejumlah uang yang diserahkan kepada pengurus Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin. Barang-barang tersebut merupakan hasil kegiatan Aksi Puasa Pembangunan di sekolah setiap hari Rabu selama masa Prapaskah.
Sesampainya di Pondok, kami disambut oleh Frater Wahyu SJ dan Gus Khodir. Gus Khodir merupakan kyai / guru yang bertanggung jawab di pondok tersebut. Frater Wahyu tinggal di Pondok selama dua tahun. Saat ini beliau sedang menjalankan tugas perutusan di pondok pesantren tersebut dalam rangka mendalami dialog lintas agama. Frater Wahyu juga menjadi guru di SMP Roudlotus Sholihin. Di sana kami mendapatkan cerita-cerita menarik tentang kehidupan para siswa/I di Pondok.
Salah satu cerita yang menarik bagi kami, pada saat itu adalah saat Gus Khodir berbagi cerita mengenai radikalisme dalam lingkungan sekitar, dan toleransi terhadap sesama. Misi yang mereka sedang jalankan adalah menjunjung tinggi toleransi dan mengurangi sikap radikal terhadap agama lain. Gus Khodir pun memberi pembelajaran kepada para santri-santrinya tentang toleransi. Beliau mengajak para santri untuk membuka hati, mau menerima orang walaupun berbeda agama. Apalagi di sekitar kita masih banyak remaja atau orang tua yang masih memiliki sikap radikal terhadap agama lain, yang memiliki paham-paham tersendiri. Cara yang mereka lakukan ialah mengunjungi tempat ibadah agama lain seperti Pura, Wihara, Gereja Kristen, dan gereja Katolik. Bahkan dengan agama lokal mereka sering melakukan sharing antar agama.
Namun, di balik kerukunan itu, mereka juga merasakan adanya gejala radikalisme yang mencoba merayap di tengah-tengah masyarakat. Pesan-pesan yang bertujuan untuk memecah belah, menghasut, dan menciptakan konflik seringkali tersebar dengan cepat, terutama di era digital ini. Ketika radikalisme merasuki bahkan tempat yang seharusnya dianggap sebagai oase kedamaian seperti pesantren, kesadaran akan urgensi toleransi semakin menonjol. Aksi bakti sosial di pesantren mengajarkan kepada kami bahwa kegiatan sosial bukan hanya tentang memberi bantuan materi, tetapi juga tentang membangun hubungan yang kokoh antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Dalam menghadapi maraknya radikalisme, kita perlu bersama-sama menyadari bahwa pendekatan pendidikan, dialog, dan kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berbudaya damai.
Pengalaman ini telah mengingatkan kami bahwa kegiatan bakti sosial bukan hanya sekadar memberi, tetapi juga belajar dan membawa perubahan. Dalam melangkah maju, mari kita terus menjadi agen-agen perdamaian yang gigih, membawa terang di tengah gelapnya kebencian, dan meneguhkan komitmen kita untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Rayyan dan Ansel (PIKA 51)